Di pelataran senja yang usang,
di bawah langit tanpa bintang,
aku memandang debu-debu yang beterbangan,
menyatu dengan kelamnya nafas kehidupan.
Apakah arti dari gemuruh ini?
Langkah-langkah berjejak pada kekosongan,
gemerlap dunia hanyalah bayang ilusi,
menipu hati yang merindu keabadian.
Kehidupan, oh, betapa rendah engkau,
sebuah panggung yang dipahat dengan duka,
di mana manusia saling berlomba,
untuk memeluk bayangan yang tak pernah nyata.
Di antara gemuruh harta dan tahta,
jiwa perlahan kehilangan suara,
dan ketika akhirnya tubuh berserah,
yang tersisa hanyalah sepi tanpa arah.
Namun, di reruntuhan yang sunyi ini,
ada keindahan yang tak dapat disangkal,
di balik retaknya kehidupan fana,
terselip pelajaran tentang cinta yang abadi.
Maka, renungkanlah—
bahwa rendahnya hidup adalah anugerah,
mengajarkan kita untuk tunduk dalam sujud,
dan memandang langit dengan kerendahan hati.
Hiduplah, meski kecil dan rapuh,
seperti embun yang jatuh di daun kering,
yang walau singkat, menyegarkan semesta,
dan menjadi saksi keindahan Sang Maha Esa.
Leave a comment